Sismanto HS

Writer, Small Business Owner, and Teacher in Sangatta

Back my campaign

Saya lahir dari suara angin laut dan bunyi perahu tua yang kembali ke dermaga. Nama saya Sismanto — anak pesisir dari Pati, Jawa Tengah. Di desa tempat saya tumbuh, kehidupan tidak menawarkan kemewahan, tetapi menghadirkan keikhlasan dalam bentuk paling murni: seorang ayah yang pulang membawa jaring basah, dan seorang ibu yang rela lapar demi menyisakan sepiring nasi untuk anak-anaknya. Masa kecil saya tidak mengenal alarm, melainkan bunyi riuh pelelangan ikan dan bau asin air laut yang menghidupkan pagi. Ketika teman sebaya bercerita tentang mainan, saya mendengar kisah tentang badai yang tak bisa selalu dikalahkan. Dari keluarga itulah saya belajar bahwa hidup tidak akan pernah lunak, tetapi selalu memberi ruang untuk tumbuh bagi mereka yang tabah.

Perjalanan saya menempuh ilmu bukan sekadar melanjutkan sekolah, tetapi menembus batas. Dari pesantren bersahaja hingga universitas bergengsi, saya menjalani peran sebagai santri, mahasiswa, dan akhirnya akademisi. Dua gelar doktor di bidang Pendidikan Islam Multikultural dan Ekonomi Syariah bukan puncak, melainkan kompas yang menuntun saya kembali ke akar: mendidik dan mengabdi. Di ruang kelas, saya menemukan panggilan hati. Di balik papan tulis, saya percaya bahwa satu anak desa pun berhak punya mimpi besar — dan guru adalah jembatan menuju mimpi itu. Maka saya menulis. Tentang ibu yang tak dikenal dunia, tentang ayah yang tidak masuk buku sejarah, tentang para santri yang menjahit harapan dengan tikar lusuh dan tekad besar.

Kini saya berdiri sebagai guru, penulis, entrepreneur Muslim, dan Ketua PCNU Kutai Timur — bukan karena saya lebih hebat, tapi karena saya tidak berhenti melangkah. Saya menulis bukan karena merasa pintar, tapi karena takut lupa. Takut kalau kisah ayah saya akan hilang di antara suara-suara bising modernitas. Saya mengajar bukan hanya untuk menyampaikan materi, tapi untuk menanamkan nilai. Dan saya mengabdi bukan karena jabatan, tapi karena saya tahu: hidup paling bermakna adalah hidup yang ditanamkan manfaat. Pendidikan, bagi saya, bukan proyek pencitraan, tapi medan jihad — tempat di mana kesabaran diuji dan jiwa dibentuk.

Saya tidak sempurna. Saya pernah lelah, pernah jatuh, dan pernah merasa tak mampu. Tapi saya selalu punya tiga hal yang membuat saya berdiri kembali: anak-anak yang memeluk saat saya pulang, istri yang mendoakan dalam diam, dan Tuhan yang selalu membuka pintu ketika saya lupa mengetuk. Dan dari sanalah saya mengerti: setiap orang punya jalan pulang. Bagi saya, jalan itu bernama ilmu, cinta, dan pengabdian. Jika ada yang saya wariskan kelak — bukan harta, bukan gelar, tetapi jejak sederhana bahwa saya pernah menjadi guru yang mencoba setia: kepada cahaya, kepada murid, dan kepada nilai-nilai yang tak pernah usang oleh zaman.

Saya lebih senang berdiskusi daripada didengarkan. Saya percaya, ide yang baik bukan hanya lahir dari pikiran, tapi juga dari perjumpaan dan percakapan yang jujur. Anda bisa membaca sebagian karya dan pemikiran saya yang tersebar di berbagai media nasional, jurnal ilmiah, dan buku-buku pendidikan serta spiritualitas. Saya juga terbuka untuk berdialog melalui kanal sosial seperti Facebook,Instagram,youtube,dan LinkedIn, atau cukup saling sapa lewat email. Selain itu, saya juga membuka publikasi akademik melalui Google Scholar ID, Orcid ID, Scopus ID, hingga ResearchGate. Untuk opini dan esai reflektif yang saya tulis di ruang publik, Anda bisa menemukannya di berbagai media seperti NU Online, Kaltim Post, dan Lain-lain. Namun, jika Anda lebih suka ruang yang tenang dan percakapan yang hangat, saya selalu senang duduk bersama cukup dengan secangkir kopi dan segenggam harapan untuk bicara tentang pendidikan, nilai, dan masa depan yang layak diperjuangkan bersama. Karena bagi saya, tulisan bisa menjangkau banyak orang, tapi obrolan yang tulus bisa menyentuh hati yang paling dalam.